Etanol 3,5% dalam BBM: Langkah Nyata Menuju Kedaulatan Energi

Peran Etanol dalam Kebijakan Energi Nasional
Etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) bukan hanya sekadar peningkat angka oktan, melainkan cerminan dari bagaimana sebuah negara memandang ketahanan energi, kedaulatan pangan, dan arah kebijakan iklimnya. Hal ini disampaikan oleh Prof. Andy N. Sommeng, ahli energi sekaligus Guru Besar Tetap Fakultas Teknik Universitas Indonesia, saat berbicara di Jakarta pada Jumat (4/10/2025).
Menurut Andy, etanol adalah simbol dari pergeseran paradigma energi. Dari sekadar memenuhi kebutuhan mobilitas, kini etanol menjadi alat untuk menghubungkan sektor pertanian, energi, dan iklim. “Membicarakan BBM yang dicampur etanol sejatinya berbicara tentang pergeseran paradigma energi—dari sekadar memenuhi kebutuhan mobilitas menuju upaya menghubungkan sektor pertanian, energi, dan iklim,” ujarnya.
Contoh Negara yang Menggunakan Etanol sebagai Strategi
Brasil menjadi contoh klasik dalam penggunaan bioetanol sebagai instrumen strategis. Sejak krisis minyak 1970-an, negara itu memanfaatkan keunggulan tebu untuk memproduksi etanol. Hasilnya, lahir mobil fleksibel berbahan bakar biofuel yang menjadi kebanggaan nasional. “Apa yang semula lahir dari krisis minyak kini menjadi kebanggaan nasional dan instrumen diplomasi energi,” katanya.
Di Amerika Serikat, jagung menjadi tulang punggung produksi etanol. Namun, hal ini bukan semata-mata demi lingkungan, tetapi juga untuk menopang lobi agrikultur. “E10 menjadi standar nasional bukan hanya karena alasan teknis, melainkan karena adanya sinergi politik energi, politik pangan, dan politik negara bagian penghasil jagung,” jelas Andy.
Pendekatan Berbeda di Negara Lain
Di Eropa Barat, negara-negara tersebut lebih berhati-hati dengan campuran E5 atau E10 sambil fokus pada pengembangan kendaraan listrik. Sementara itu, India, Tiongkok, Thailand, dan Filipina melihat etanol sebagai instrumen strategis untuk mengurangi impor minyak dan menyerap surplus produksi pertanian.
Situasi di Indonesia
Di Indonesia, program bioetanol pernah diujicoba dengan peluncuran Pertamax E5–E10. Namun, program ini terhenti karena keterbatasan pasokan. “Energi terbarukan berbasis nabati di negeri ini justru lebih cepat maju di jalur biodiesel ketimbang bioetanol,” ujar Andy.
Ia menjelaskan bahwa pilihan energi tidak hanya soal teknologi, tetapi juga ketersediaan bahan baku, infrastruktur, dan konsistensi kebijakan. “Ini menunjukkan bahwa pilihan energi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga ketersediaan bahan baku, infrastruktur, dan konsistensi kebijakan,” tambahnya.
Etanol sebagai Energi Politis
Andy menegaskan bahwa bioetanol bukan sekadar energi alternatif, melainkan energi politis. “Di balik setiap angka blending—E3, E5, E10, E20, E85, E100—terselip narasi tentang bagaimana sebuah bangsa menghadapi persoalan iklim, bagaimana ia memperlakukan petaninya, dan bagaimana ia membangun ketahanan energi,” katanya.
Refleksi Filosofis
Pada akhirnya, Andy menutup dengan refleksi filosofis, mengutip Heidegger. “Teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara manusia menyingkap dunia. Dalam hal ini, etanol adalah cara bangsa-bangsa menyingkap dunianya masing-masing: Brasil menyingkap dunia tebu, Amerika dunia jagung, India dunia molase, dan Indonesia dunia sawit. Pertanyaannya: dunia apa yang ingin kita singkap melalui kebijakan energi kita ke depan?” pungkas Andy.